Hadiah dan plakat penghargaan untuk Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) LIPI, juga Indonesia Berprestasi Awards (IBA) dari XL, dan Indigo Fellowship dari Telkom yang diselenggarakan secara hampir bersamaan telah diserahkan kepada para pemenang. Mereka adalah kaum muda dari pelbagai bidang kreativitas dan kiprah inovasi, tetapi memperlihatkan satu karakter sama, yakni gemar meneliti dan mengembangkan. Itulah aktivitas yang erat dicitrakan pada ilmuwan dan inovator.
Dari ketiga lomba, LKIR yang paling tua, tahun ini adalah seri ke-41 sejak dimulai tahun 1968. Sementara Program Indonesia Berprestasi XL memasuki tahun ke-3 dan Indigo Telkom baru diluncurkan tahun ini.
LKIR tahun ini menampilkan 13 finalis dari berbagai penjuru Tanah Air, sebagaimana finalis IBA. Sementara Indigo Fellowship yang memfokuskan diri pada pemanfaatan teknologi informasi komunikasi (ICT) untuk peluang industri kreatif tampaknya masih didominasi oleh kota Jakarta dan Bandung.
Sebagai lomba karya ilmiah yang sudah melegenda di negara ini, LKIR tampaknya juga tak mau ”begitu-begitu” saja. Lomba ini ingin diangkat sosoknya ke aras lebih tinggi. Menurut Kepala Biro Kerja Sama dan Pemasyarakatan Iptek LIPI Dr Dede Setiapermana, LKIR kini telah berafiliasi dengan lomba ilmiah internasional International Science and Engineering Fair (ISEF), yang sejak tahun 1997 disponsori oleh Intel Corp.
Dari karya-karya yang masuk final di ketiga lomba di atas, mutu penulisan masih perlu terus ditingkatkan. Namun, satu hal yang membesarkan hati, melalui lomba-lomba karya ilmiah, remaja dan pemuda Indonesia terus mendapatkan stimulus untuk menguji semangat ilmiah sambil meningkatkan kepekaan akan kebangsaan, permasalahan sosial-ekonomi, serta pentingnya sains dan teknologi bagi perkembangan bangsa.
Tepatnya, memang itulah tujuan terpenting lomba karya ilmiah, yakni—seperti ditegaskan Kepala LIPI Umar A Jenie saat membuka Final LKIR 2009, Senin (26/10) di Widya Graha, Jakarta—untuk menumbuhkan minat dan mencintai bidang penelitian, juga sains dan teknologi.
Dr Daniel Dhakidae, salah seorang juri LKIR, di sela-sela presentasi final LKIR Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan sempat menyatakan kekagumannya bahwa remaja peserta lomba masih mampu mencurahkan minat kepada bidang penelitian, justru ketika godaan zaman sekarang ini semakin besar.
Apresiasi senada dapat juga diarahkan kepada peserta di dua lomba lainnya. Di IBA 2009, peraih IBA 2009 untuk Kategori Pendidikan, Dr Denny Hidayati, dinilai gigih dalam menyebarluaskan kesadaran masyarakat, khususnya kaum muda, akan pentingnya pemeliharaan lingkungan pantai, juga kesiapan menghadapi bencana, isu yang terasa makin relevan ketika rentetan gempa terjadi di Tanah Air beberapa waktu terakhir ini.
Secara umum dapat dikatakan bahwa para peserta lomba telah memenuhi seruan agar di antara warga bangsa ada yang mau menggeluti bidang penelitian. Berikutnya dapat diangkat pertanyaan, ”Selanjutnya apa?” Apakah lomba-lomba ilmiah hanya akan berhenti sebagai agenda rutin tahunan? Atau mau diangkat ke level lebih tinggi, ke level internasional? Atau apakah lomba, khususnya yang bersifat inovatif seperti Indigo Fellowship atau Inovasi 101 yang kemarin digagas Kementerian Negara Riset dan Teknologi, diuji lebih lanjut dalam keberhasilannya menembus pasar?
Pertanyaan itu penting dijawab. Kepala LIPI menegaskan, sains dan teknologi berperan penting dalam meningkatkan daya saing satu bangsa. Agar daya saing meningkat, iptek harus dikuasai lengkap dari hulu ke hilir, dari inovasi hingga komersialisasi.
Harus diakui, persisnya justru dalam proses di hilir ini, inovator Indonesia masih banyak terkendala. Ini membuat banyak karya inovasi bagus yang lalu berakhir sebagai makalah atau paling jauh prototipe, bukan sebagai produk dan merek yang laris di pasar. Di sinilah sekali lagi perlu ditegaskan kembali pentingnya kecakapan kewirausahaan atau entrepreneurship, bahkan lebih spesifik technopreneurship, kewirausahaan yang khusus menangani produk-produk teknologi.
Chairman Intel Craig Barrett, seperti dikutip Umar A Jenie, menyinggung tiga elemen penting guna meningkatkan daya saing bangsa. Pertama, investasi cerdas di bidang pendidikan sains (matematika, fisika, kimia, biologi) dan teknologi; kedua adalah investasi cerdas di dalam penelitian dan pengembangan, yang diperlukan untuk menampung sumber daya cerdas yang dihasilkan oleh pendidikan. Ketiga, lingkungan cerdas guna mendukung tumbuhnya industri berbasis iptek, seperti halnya sistem pajak, regulasi, dan instrumen pendukung lainnya.
Menyadari pentingnya unsur pertama (pendidikan) dan kedua (litbang) itulah Intel mendukung ISEF, yang tahun depan akan diselenggarakan di San Jose, California, AS. Ajang ISEF yang setahun diikuti sekitar 1.500 peserta dari 51 negara inilah yang selanjutnya harus menjadi target pemenang LKIR.
Tentu, jalan menuju kemenangan San Jose tidak ringan. Di ajang ini ada 14 disiplin ilmiah dengan juri pakar berpendidikan setingkat PhD atau berpengalaman setidaknya enam tahun di bidang di mana ia menjadi juri.
Pengalaman AS sendiri menambah relevan ISEF. Presiden Barack Obama di depan Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional yang menggarisbawahi bahwa ada penurunan minat generasi muda AS terhadap iptek dan surutnya keunggulan mereka dibandingkan dengan sebayanya dari Asia, memperkuat hal itu. Pada masa lalu, ancaman tertinggal oleh Uni Soviet membuat AS mencanangkan Program Apollo. Kini, AS akan mengerahkan 3 persen dari produk domestik brutonya untuk litbang guna menanggulangi ancaman penurunan di atas, dan akan menjadi pengerahan anggaran paling besar untuk tujuan riset dan pengembangan dalam sejarah AS.
Namun, hal itu tidak jadi soal karena sejarah memperlihatkan, sebagian besar dari 500 perusahaan terunggul versi majalah Fortune merupakan perusahaan berbasis iptek.
Indonesia yang kini masih mengalokasikan 0,05 persen dari produk domestik bruto untuk riset tentu masih harus bekerja keras mengembangkan lingkungan dan investasi memadai di bidang iptek. Tampaklah, ketika negara masih sibuk memprioritaskan bidang lain, prakarsa lembaga dan korporasi swasta kini telah menyemarakkan panggung riset kaum muda.
0 komentar :
Posting Komentar