Ada kutipan menarik dari kisah hidup Dr. Romi Satria Wahono. Dalam
bukunya ia menulis: "Saya sendiri cah ndeso dan kutu kupret, yang sejak
SD susah membedakan huruf “b” dan “d”, dan yang masuk ke SMA Taruna
Nusantara dengan NEM SMP yang sangat rendah. Saya bukan lulusan terbaik
SMP Negeri 5 Semarang, ditambahi memang S
MP
saya tercinta ini juga bukan SMP favorit di Semarang. SMP yang pada
tahun 1990 dan mungkin juga sampai sekarang, orang Semarang pun jarang
yang tahu di mana posisinya. Tapi saya punya modal penting, yaitu
SEMANGAT. Saya punya motivasi lebih untuk mendongkrak kinerja saya. Saya
tidak mau tahun berikutnya dipulangkan karena tidak naik kelas. di SMA
Taruna Nusantara, tidak naik kelas berarti dikeluarkan dari sekolah.
Apa yang saya lakukan? Saya kurangi tidur, saya tetap terjaga dan belajar ketika teman-teman sudah terlelap tidur, dan saya bangun lebih cepat dari siapa pun di asrama SMA Nusantara. Alhamdulillah, kinerja saya yang dinilai bapak ibu guru dalam bentuk angka-angka menunjukkan grafik meningkat tiap triwulan. Cah ndeso, kutu kupret, dan mbeling kayak saya pun akhirnya bisa menikmati nilai raport yang baik.
Tahun 1995, masuk kampus di Jepang juga harus ngos-ngosan lagi. Masalah pertama adalah kanji yang diajarkan di sekolah Bahasa Jepang ternyata hanya seleval anak SMP. Semakin parah karena kemampuan otak terbatas. Awal-awal kuliah saya memerlukan waktu satu jam untuk memahami satu halaman buku texbook mata kuliah. Padahal, mahasiswa Jepang hanya perlu 5 menit ... he he he. Ya, kemampuan mereka harus saya kejar dengan semangat dan motivasi. Saya atur jadwal, saya buat logika sederhana saja, kalau mahasiswa Jepang dalam 1 jam bisa pahami 12 halaman, ya saya berarti juga harus pahami 12 halaman, meskipun resikonya 12 jam mata pedes karena melototin buku. Alhamdulillah, kinerja saya sebagai mahasiswa di Saitama University Jepang tidak terlalu mengecewakan. Pada akhir kelulusan program S1, masih masuk kategori tiga besar di jurusan, dan bisa melanjutkan ke program Master dan Doktor. Jadi, jangan menyerah, tingkatkan motivasi, jangan mau jadi pecundang, jangan mau kalah, tamaklah dalam ilmu, tapi jangan tamak dalam harta, takhta, dan wanita [Romi Satrio Wahono, Kiat Kreatif di Era Global, Dapat Apa Sih dari Universitas? (Bandung: ZIP Books, 2009), 145-146.
Apa yang saya lakukan? Saya kurangi tidur, saya tetap terjaga dan belajar ketika teman-teman sudah terlelap tidur, dan saya bangun lebih cepat dari siapa pun di asrama SMA Nusantara. Alhamdulillah, kinerja saya yang dinilai bapak ibu guru dalam bentuk angka-angka menunjukkan grafik meningkat tiap triwulan. Cah ndeso, kutu kupret, dan mbeling kayak saya pun akhirnya bisa menikmati nilai raport yang baik.
Tahun 1995, masuk kampus di Jepang juga harus ngos-ngosan lagi. Masalah pertama adalah kanji yang diajarkan di sekolah Bahasa Jepang ternyata hanya seleval anak SMP. Semakin parah karena kemampuan otak terbatas. Awal-awal kuliah saya memerlukan waktu satu jam untuk memahami satu halaman buku texbook mata kuliah. Padahal, mahasiswa Jepang hanya perlu 5 menit ... he he he. Ya, kemampuan mereka harus saya kejar dengan semangat dan motivasi. Saya atur jadwal, saya buat logika sederhana saja, kalau mahasiswa Jepang dalam 1 jam bisa pahami 12 halaman, ya saya berarti juga harus pahami 12 halaman, meskipun resikonya 12 jam mata pedes karena melototin buku. Alhamdulillah, kinerja saya sebagai mahasiswa di Saitama University Jepang tidak terlalu mengecewakan. Pada akhir kelulusan program S1, masih masuk kategori tiga besar di jurusan, dan bisa melanjutkan ke program Master dan Doktor. Jadi, jangan menyerah, tingkatkan motivasi, jangan mau jadi pecundang, jangan mau kalah, tamaklah dalam ilmu, tapi jangan tamak dalam harta, takhta, dan wanita [Romi Satrio Wahono, Kiat Kreatif di Era Global, Dapat Apa Sih dari Universitas? (Bandung: ZIP Books, 2009), 145-146.
Diambil dari Tulisa Dr. Ngainun Naim, MHI
0 komentar :
Posting Komentar