Feature itu karya jurnalistik yang mementingkan sisi humanisme, kemanusiaan.
Mengapa feature ini penting? Begini. Pembaca itu menginginkan tulisan yang membuat mereka senang. Senang karena gaya bahasanya yang baik, senang karena isinya dekat dengan kehidupan mereka, dan senang membaca bak dongeng. Karena basis-basis kesenangan itu juga karya seperti feature punya tempat tersendiri.
Patricia A. William dalam bukunya menulis, feature adalah tulisan yang membahas aspek menarik atau aspek lain dari suatu berita. Sedang Atar Semi feature adalah tulisan tentang sesuatu yang berkaitan dengan berita, yang disajikan dengan gaya khas, sehingga mengandung nilai berita dan nilai estetik.
Menurut penulis buku Jurnalistik Praktis, Asep Syamsul M Romli, ada beberapa ciri khas dari feature::
1. Tulisan yang mengandung unsur human interest. Tulisan feature memberikan penekanan pada fakta-fakta yang dianggap mampu menggugah emosi—menghibur, memunculkan empati dan keharuan. Dengan kata lain, sebuah feature juga harus mengandung segi human interest atau human touch—menyentuh rasa manusiawi. Karenanya, feature termasuk kategori soft news (berita ringan) yang pemahamannya lebih menggunakan emosi.
2. Tulisan tersebut mengandung unsur sastra. Satu hal penting dalam sebuah feature adalah ia harus mengandung unsur sastra. Feature ditulis dengan cara atau gaya menulis fiksi. Karenanya, tulisan feature mirip dengan sebuah cerpen atau novel—bacaan ringan dan menyenangkan—namun tetap informatif dan faktual. Karenanya pula, seorang penulis feature pada prinsipnya adalah seorang yang sedang bercerita.
Bagaimana trik atau cara menulis feature?
Sebetulnya hampir sama dengan teknik menulis artikel lainnya, hanya saja dalam menulis feature kita dituntut untuk lebih ‘menyentuh’ dan memberikan nuansa lain dari sekadar sebuah berita. Itu sebabnya, feature bisa berfungsi sebagai penjelasan atau tambahan untuk berita yang sudah disiarkan sebelumnya, memberi latar belakang suatu peristiwa, menyentuh perasaan dan mengharukan, menghidangkan informasi dengan menghibur, juga bisa mengungkap sesuatu yang belum tersiar sebagai berita.
Teknik penulisan
Jika dalam penulisan berita yang diutamakan ialah pengaturan fakta-fakta, maka dalam penulisan feature kita dapat memakai teknik ”mengisahkan sebuah cerita”. Memang itulah kunci perbedaan antara berita ”keras” (spot news) dan feature. Penulis feature pada ha-kikatnya adalah seorang yang berkisah.
Penulis melukis gambar dengan kata-kata: ia menghidupkan imajinasi pembaca; ia me-narik pembaca agar masuk ke dalam cerita itu dengan membantunya mengidentifikasikan diri dengan tokoh utama.
Penulis feature untuk sebagian besar tetap menggunakan penulisan jurnalistik dasar, ka-rena ia tahu bahwa teknik-teknik itu sangat efektif untuk berkomunikasi. Tapi bila ada aturan yang mengurangi kelincahannya untuk mengisahkan suatu cerita, ia segera me-nerobos aturan itu.
”Piramida terbalik” (susunan tulisan yang meletakkan informasi-informasi pokok di bagian atas, dan informasi yang tidak begitu penting di bagian bawah — hingga mudah untuk dibuang bila tulisan itu perlu diperpendek) sering ditinggalkan. Terutama bila urutan pe-ristiwa sudah dengan sendirinya membentuk cerita yang baik.
Jenis-jenis Feature
1. Feature kepribadian (Profil)
Profil mengungkap manusia yang menarik. Misalnya, tentang seseorang yang secara dra-matik, melalui berbagai liku-liku, kemudian mencapai karir yang istimewa dan sukses atau menjadi terkenal karena kepribadian mereka yang penuh warna.
Agar efektif, profil seperti ini harus lebih dari sekadar daftar pencapaian dan tanggal-tang-gal penting dari kehidupan si individu. Profil harus bisa mengungkap karakter manusia itu. Untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan, penulis feature tentang pribadi seperti ini seringkali harus mengamati subyek mereka ketika bekerja; mengunjungi rumah mereka dan mewawancara teman-teman, kerabat dan kawan bisnis mereka.
Profil yang komplit sebaiknya disertai kutipan-kutipan si subyek yang bisa meng-gambarkan dengan pas karakternya. Profil yang baik juga semestinya bisa memberikan kesan kepada pembacanya bahwa mereka telah bertemu dan berbicara dengan sang tokoh.
Banyak sumber yang diwawancara mungkin secara terbuka berani mengejutkan Anda de-ngan mengungkap rahasia pribadi atau anekdot tentang si subyek. Tapi, banyak sumber lebih suka meminta agar identitasnya dirahasiakan. Informasi sumber-sumber itu penting untuk memberikan balans dalam penggambaran si tokoh.
2. Feature sejarah
Feature sejarah memperingati tanggal-tanggal dari peristiwa penting, seperti proklamasi kemerdekaan, pemboman Hiroshima atau pembunuhan jenderal-jenderal revolusi. Koran juga sering menerbitkan feature peringatan 100 tahun lahir atau meninggalnya seorang tokoh.
Kisah feature sejarah juga bisa terikat pada peristiwa-peristiawa mutakhir yang mem-bangkitkan minat dalam topik mereka. Jika musibah gunung api terjadi, koran sering memuat peristiwa serupa di masa lalu.
Feature sejarah juga sering melukiskan landmark (monumen/gedung) terkenal, pionir, fi-losof, fasilitas hiburan dan medis, perubahan dalam komposisi rasial, pola perumahan, makanan, industri, agama dan kemakmuran.
Setiap kota atau sekolah memiliki peristiwa menarik dalam sejarahnya. Seorang penulis feature yang bagus akan mengkaji lebih tentang peristiwa-peristiwa itu, mungkin dengan dokumen historis atau dengan mewawancara orang-orang yang terlibat dalam peristiwa-peristiwa bersejarah.
3. Fature petualangan
Feature petualangan melukiskan pengalaman-pengalaman istimewa dan mencengangkan — mungkin pengalaman seseorang yang selamat dari sebuah kecelakaan pesawat ter-bang, mendaki gunung, berlayar keliling dunia, pengalaman ikut dalam peperangan.
Dalam feature jenis ini, kutipan dan deskripsi sangat penting. Setelah bencana, misalnya, penulis feature sering menggunakan saksi hidup untuk merekontruksikan peristiwa itu sendiri. Banyak penulis feature jenis ini memulai tulisannya dengan aksi — momen yang paling menarik dan paling dramatis.
4. Feature musiman
Reporter seringkali ditugasi untuk menulis feature tentang musim dan liburan, tentang Ha-ri Raya, Natal, dan musim kemarau. Kisah seperti itu sangat sulit ditulis, karena agar tetap menarik, reporter harus menemukan angle atau sudut pandang yang segar.
Contoh yang bisa dipakai adalah bagaimana seorang penulis menyamar menjadi Sin-terklas di
Hari Natal untuk merekam respon atau tingkah laku anak-anak di seputar hara raya itu.
5. Feature Interpretatif
Feature dari jenis ini mencoba memberikan deskripsi dan penjelasan lebih detil terhadap topik- topik yang telah diberitakan. Feature interpretatif bisa menyajikan sebuah or-ganisasi, aktifitas, trend atau gagasan tertentu. Misalnya, setelah kisah berita meng-gambarkan aksi terorisme, feature interpretatif mungkin mengkaji identitas, taktik dan tujuan terotisme.
Berita memberikan gagasan bagi ribuan feature semacam ini. Setelah perampokan bank, feature interpretatif bisa saja menyajikan tentang latihan yang diberikan bank kepada pegawai untuk menangkal perampokan. Atau yang mengungkap lebih jauh tipikal pe-rampok bank, termasuk peluang perampok bisa ditangkap dan dihukum.
6. Feature kiat (how-to-do-it feature)
Feature ini berkisah kepada pembacanya bagaimana melakukan sesuatu hal: bagaimana membeli rumah, menemukan pekerjaan, bertanam di kebun, mereparasi mobil atau mem-pererat tali perkawinan.
Kisah seperti ini seringkali lebih pendek ketimbang jenis feature lain dan lebih sulit dalam penulisannya. Reporter yang belum berpengalaman akan cenderung menceramahi atau mendikte pembaca — memberikan opini mereka sendiri — bukannya mewawancara sum-ber ahli dan memberikan advis detil dan faktual.
Harus diakui bahwa yang terpenting dalam pembuatan tulisan berjenis feature ini adalah lead. Kekuatannya ada di sana. Lead ibarat pembuka jalan. Jadi harus benar-benar menarik dan mengundang rasa penasaran pembaca untuk terus membaca. Sebab, gagal dalam menuliskan lead pembaca bisa ogah meneruskan membaca. Nah, gagal berarti kehilangan daya pikat. Itu sebabnya, penulis feature harus pinter betul menggunakan kalimatnya. Bahasa harus rapi dan terjaga bagus dan cara memancing itu haruslah jitu. Memang sih, nggak ada teori yang baku tentang menulis lead sebuah feature. Semuanya berdasarkan pengalaman dan juga perkembangan. Saya modifikasi dari perkembangan yang saya lihat di berbagai media massa dan sedikit teori umum tentang itu. Namun, sebagai garis besar beberapa contoh lead bisa disebutkan sebagai berikut:
Lead Ringkasan:
Lead ini hampir mirip dengan berita biasa, bedanya, yang ditulis adalah inti ceritanya. Banyak penulis feature menulis lead gaya ini karena gampang. Misal: Paijo. Begitu ia biasa dipanggil kawan sesama pengojek yang mangkal di perempatan dekat pasar. Tubuhnya ringkih. Kurus. Sehingga terlihat lebih tua dari usianya yang baru mencapai 33 tahun bulan kemarin. Guru honorer ini terpaksa menjadi pengojek setelah selesai mengajar karena butuh biaya untuk persiapan persalinan istrinya yang kini sedang hamil tua . Dan seterusnya…. Pembaca sudah bisa menebak, yang mau ditulis adalah seorang guru honorer yang nyambi jadi tukang ojek karena terdesak kebutuhan ekonomi.
Lead Bercerita:
Lead ini menciptakan suatu suasana dan membenamkan pembaca seperti ikut jadi tokohnya. Misal: Anak berseragam putih-abu itu menenteng balok kayu. Sorot matanya tajam bagai elang mengincar mangsanya. Sejurus kemudian ia memberi komando untuk menyerang lawannya dari sekolah lain. Tawuran pun tak bisa dihindari lagi. Warga sekitar kejadian, yang kebanyakan ibu-ibu ketakutan menyaksikan drama itu… Pembaca masih bertanya apa yang terjadi. Padahal feature itu bercerita tentang maraknya tawuran pelajar yang selama ini selalu bikin resah.
Lead Deskriptif:
Lead ini menceritakan gambaran kepada pembaca tentang suatu tokoh atau suatu kejadian. Penulis yang hendak menulis profil seseorang, biasanya seneng banget bikin lead kayak begini. Misal: Sesekali wanita tua itu mengelap keringatnya yang mengucur dengan ujung kebayanya, ia terus mengulek bumbu pecel. Sementara anak-anak sekolah sibuk berebutan membeli gorengan di kantin sekolah itu. Meski banyak anak yang suka curang dengan tidak membayar dagangannya, Bu Maryam tak pernah ambil pusing, “Mungkin dia tidak punya uang”, katanya suatu saat….. dst….Pembaca mudah terhanyut oleh lead begini, apalagi penulisnya ingin membuat kisah Bu Maryam yang bak pelangi.
Lead Pertanyaan:
Lead ini menantang rasa ingin tahu pembaca, asal dipergunakan dengan tepat dan pertanyaannya wajar saja. Lead begini sebaiknya satu alinea dan satu kalimat, dan kalimat berikutnya sudah alinea baru. Misal: Mengapa banyak koruptor kabur ke Singapura? Apakah di sana memang bisa hidup layak meski di negeri sendiri jadi buronan? Mungkin saja di sana mereka aman, karena Singapura tak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Ini benar-benar ironi…dst….Pembaca kemudian disuguhi feature tentan kehidupan para koruptor yang memilih kabur ke Singapura agar tak tersentuh hukum di sini.
Lead Nyentrik:
Lead ini nyentrik, ekstrim, bisa berbentuk puisi atau sepotong kata-kata pendek. Hanya baik jika seluruh cerita bergaya lincah dan hidup cara penyajiannya. Misal:
Hancurkan Amerika!
Adili Obama!
Obama Teroris!
Tegakkan Khilafah
Hancurkan demokrasi!
Teriakan itu bersahut-sahutan dari ribuan pendemo di depan Kedubes AS dalam unjuk rasa menentang kebijakan AS di bawah Obama yang ternyata melanjutkan misi War on Terrorism yang sudah dijalankan pendahulunya, Bush …. dst…. Pembaca akan disuguhi feature tentang tuntutan para pengunjuk rasa tersebut.
Lead Menuding:
Lead ini berusaha berkomunikasi langsung dengan pembaca dan ciri-cirinya adalah ada kata “Anda” atau “Saudara” (bisa juga Anda). Pembaca sengaja dibawa untuk menjadi bagian cerita, walau pembaca itu tidak terlibat pada persoalan. Misal: Anda jangan bangga dulu punya HP oke. Meski kemana-mana nenteng ponsel yang fiturnya seabrek, boleh jadi Anda buta tentang teknologi telgam ini dst….
Lead Kutipan:
Lead ini bisa menarik jika kutipannya harus memusatkan diri pada inti cerita berikutnya. Dan tidak klise. Misal: “Saya akan terus berjuang sampai titik darah yang penghabisan. Lebih baik mati daripada menanggung derita karena dijajah Israel,” kata seorang pemuda Palestina dengan lantangnya saat membakar bendera Israel di Tepi Barat dalam sebuah demonstrasi yang digelar ratusan pejuang Palestina itu… dan seterusnya. Pembaca kemudian digiring pada kisah perjuangan rakyat Palestina.
Lead Gabungan:
Ini adalah gabungan dari beberapa jenis lead tadi. Misal: “Saya tak pernah merasa gentar menghadapi serbuan AS dan sekutunya” kata Moamar Qadhafi dalam pidato yang berapi-api itu. Ia tetap tersenyum cerah dan melambai-lambaikan tangannya di hadapan ribuan rakyat Libya di sela-sela pidatonya itu…. Ini gabungan lead kutipan dan deskriptif. Dan lead apa pun bisa digabung-gabungkan. Coba ya…
Nah, setelah kita membuat lead, jangan lupa membuat isinya, yakni yang disebut dengan “Batang Tubuh”. Lead yang menarik, tentu harus didukung dengan batang tubuh yang oke juga. Tapi yang jelas fokus cerita jangan sampai menyimpang. Buatlah kronologis, berurutan dengan kalimat sederhana dan pendek-pendek. Terus deskripsi, baik untuk suasana maupun orang (profil) mutlak untuk pemanis sebuah feature.
Kalau dalam berita, cukup ditulis begini: Paijo, guru honorer yang terpaksa menjadi pengojek. Paling hanya dijelas kan sedikit soal Paijo. Tapi dalam feature, Anda dituntut lebih banyak. Profil lengkap Paijo diperlukan, agar orang bisa membayangkan. Tapi tak bisa dijejal kayak begini: Paijo, guru honorer, umurnya 33 tahun, istrinya hamil tua, rumahnya di Kalibaru, terpaksa jadi pengojek. Walah, itu mah kurang greget atuh. Hehehe..
Anda harus memecah data-data itu. Misalnya, alenia pertama cukup ditulis: Paijo, 33 tahun, guru honorer yang nyambi jadi tukang ojek. Lalu jelaskan tentang contoh keterpaksaannya jadi tukang ojek. Pajio, pria asal Magetan Jawa Timur memilih jadi pengojek setelah selesai mengajar sebagai guru honorer di sebuah sekolah dasar. Hal itu ia lakukan untuk menghidupi dua anaknya dan untuk biaya persiapan kelahiran anak ketiganya . Di bagian lain bisa ditulis: “Demi anak-anak, saya rela membanting tulang kerja keras” kata pria kurus berwajah tirus yang sudah merantau sejak remaja dan kini tinggal di sebuah rumah di kawasan Kalibaru. Dan seterusnya.
Anekdot perlu juga untuk sebuah feature. Tapi jangan mengada-ada dan dibikin-bikin ya? Jadi nggak menarik nantinya. Kutipan ucapan juga penting, agar pembaca tidak jenuh dengan suatu reportase. Nah, detil penting tetapi harus tahu kapan terinci betul dan kapan tidak. Misalnya, Bis itu masuk jurang dengan kedalaman 15 meter lebih 40 centi 8 melimeter…, apa pentingnya itu? Sebut saja sekitar 15 meter.
Beda dengan yang ini: Gol kemenangan Manchester United dicetak Wayne Rooney pada menit ke 44, ini penting. Sebab nggak bisa disebut sekitar menit ke 45. Kenapa? Karena menit 45 sudah setengah main. Dalam olahraga sepakbola, menit ke 41 beda jauh dengan menit ke 35. Bahkan dalam atletik, waktu 10.51 detik banyak bedanya dengan 10.24 detik. Belum lagi ngitung waktu dalam arena balapan F1, seper sekian detik juga akan diperhitungkan. Tul nggak?
Oya, ‘kecanggihan’ lead dan batang tubuh nggak bakalan sempurna kalo nggak ada ‘ending’ (penutup). Kalo dalam berita malah tidak ada penutup. Untuk feature paling nggak ada empat jenis penutup. Pertama, penutup “Ringkasan”. Sifatnya merangkum kembali cerita-cerita yang lepas untuk mengacu kembali ke intro awal atau lead. Kedua, penutup “Penyengat”. Jadi, membuat pembaca kaget karena sama sekali tak diduga-duga. Misalnya, menulis feature tentang gembong pelaku curanmor yang berhasil ditangkap setelah melakukan perlawanan. Kisah sudah panjang dan seru, pujian untuk petugas polisi sudah datang, dan sang penjahat itu pun sudah menghuni sel tahanan. Tapi, ending feature adalah: Esok harinya, penjahat itu telah kabur kembali. Gubrak!
Ketiga, penutup “Klimak”. Ini penutup biasa karena cerita yang disusun tadi sudah kronologis. Jadi penyelesaiannya jelas. Keempat, penutup “Tanpa Penyelesaian”. Cerita berakhir dengan mengambang. Ini bisa taktik penulis agar pembaca merenung dan mengambil kesimpulan sendiri, tetapi bisa pula masalah yang ditulis memang menggantung, masih ada kelanjutan, tapi tak pasti kapan. Misalnya: Entah sampai kapan penjajahan AS di Afghanistan dan Irak ini akan berakhir.
Bagaimana kita bisa menulis feature itu dengan baik?
Pertama, cintailah hal yang detail
Menulis karya jurnalistik jenis ini memang harus kaya dengan detail dan hal perinci lainnya. Semakin detail, semakin bagus, semakin kaya tulisan itu. Cara membuat detail yang baik tentu saja dengan memperhatikan semua kejadian saat kita melakukan reportase. Misalnya, saat akan menulis soal personel Koes Plus, khususnya rumah, kita mesti jeli melihat jenis bangunan, warna cat, ornamen yang ada, furnitur di sana, dan sebagainya. Dengan detail semacam itu, kita akan bisa menggambarkan dengan baik.
Contohnya dalam lead Ngak-Ngik Ngok yang ditulis Budi Setiyono dalam Jurnalisme Sastrawi. Antologi Liputan Mendalam dan Memikat.
“Rumah keluarga Koeswojo lengang. Di sebuah rumah kayu, yang menjorok ke kanan dari pintu gerbang, dua lelaki sibuk dengan aktivitas masing-masing. Djon membaca koran, Yok mengikir batu akik. Sesekali dia pria yang rambutnya memutih di sana-sini itu bercakap-cakap.
Rumah kayu tanpa dinding di depan dan di sisi kanannya itu terasa sesak. Sebuah pohon belimbing wuluh yang sedang berbuah menembus atapnya. Ruangannya dipenuhi banyak barang. Sebuah meja dengan empat kursi berjok pilinan bambu. Ada juga kursi panjang. Sebuah rak. Ada dua batu granit bulat tinggi dan sebuah patung pahatan kayu berbentuk babi menghiasi lantainya. Gong besar dan kecil tergantung di tiangnya, sementara burung kayu yang bergoyang-goyang berada di langit-langit. Di dindingnya menempel sebuah wayang kulit serta hiasan batu dan kayu kecil-kecil.”
Kedua, karakter orang biasa
Karya feature atau narrative journalism tak melulu soal orang terkenal. Ia bisa saja orang biasa yang mungkin tak dilirik jurnalis lain. Tetapi karena punya konteks dengan sebuah peristiwa, ia menjadi penting, dan kemudian malah….terkenal!
Ketika Presiden AS John F. Kennedy ditembak, hampir semua media massa di Amerika memberitakan itu dari sudut pandang yang relatif sama. Kepolisian, pemerintah, pihak keluarga, dan sebagainya. Namun, jurnalis New York Herald Tribune, Jimmy Breslin, mencoba jalan lain. Ia mencari sosok lain untuk “bercerita” soal kematian sang presiden. Breslin lalu berpikir mewawancarai penggali kubur Kennedy. Setelah info dan narasumber didapat, ia bekerja. Ia wawancarai Clifton Pollard, orang yang menggali kubur Kennedy. Dalam korannya, Breslin menuliskan judul It’s an Honour (Ini Sebuah Kehormatan).
Mari kita simak penggalan awal artikel Breslin:
Clifton Pollard yakin hari Minggu itu ia akan bekerja juga. Jam sembilan pagi ia sudah bangun. Di apartemen dengan tiga kamar di Corcoran Street, ia sudah siap. Mengenakan pakaian warna khaki ia kemudian menuju dapur. Istrinya, Hettie, sudah menyiapkan daging panggang dan telur. Telepon tiba-tiba berdering. Telepon yang ia tunggu-tunggu. Telepon dari Mazo Kawalchik, mandor penggali kubur di Arlington National Cemetery, tempat Pollard bekerja.
“Polly, tolong jam sebelas nanti sudah ada di sini ya,” kata Kawalchik memerintah. Pollard lalu meletakkan gagang telepon, menyelesaikan sarapan, dan pergi bekerja. Hari Minggu itu akan ia lewatkan dengan menggali liang lahat untuk John Fitzgerald Kennedy.
Tulisan Breslin ini kemudian menjadi ikon soal kematian Kennedy. Maka, dalam ranah jurnalisme, ketika orang membicarakan kematian Kennedy, ia wajib membaca It’s an Honour karya Breslin.
Di Tanah Air, hal serupa juga pernah terjadi. Sehari setelah bekas Presiden Soeharto mangkat, semua media mengulas soal itu. Ihwal Soeharto membangun kerajaan politiknya, soal hobinya, hubungannya dengan negarawan lain, soal anak-anaknya, demokrasi, dan sebagainya. Berbeda dengan yang lain, dua wartawan Koran Tempo, Dwi Wiyana dan Muhammad Nur Rochmi, mengambil sudut pandang yang lain. Mereka mewawancarai Sabarto Tarigan, sopir Rumah Sakit Pusat Pertamina, yang membawa ambulans berisi jenazah Soeharto menuju Cendana. Judul tulisan di halaman dua edisi khusus meninggalnya Soeharto itu berjudul Dua Puluh Menit Menuju Cendana.
Beberapa paragraf saya sitatkan di sini.
Bekerja sebagai sopir di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta, sejak 1996, Sabarto Tarigan tak pernah menduga akan ketiban sampur, tugas yang tak pernah dibayangkan dan tak bisa ditolak. Dia mesti mengemudikan mobil jenazah yang membawa jasad mantan Presiden Soeharto.
“Saya waswas kalau ada apa-apa dengan mobil ini di tengah jalan,” kata pria 37 tahun itu saat ditemui Tempo di RSPP kemarin petang…..Keluar melalui pintu kiri rumah sakit, mobil Sabarto didahului oleh lima motor voorrijder dan satu jip Polisi Militer. Melaju dengan kecepatan 50-60 kilometer per jam, mobil jenazah itu diikuti sederet mobil pengiring, termasuk mobil yang ditumpangi mantan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono…..Perjalanan itu memakan waktu 20 menit. Sepanjang perjalanan, banyak warga yang melambaikan tangan…..Pukul 15.06, mobil Sabarto sampai di Cendana. Setelah semua urusan beres, mobil pun balik kandang. Kali ini Sabarto jalan sendirian. Tak ada lagi voorrijder yang membukakan jalan, juga iring-iringan mobil di belakang. “Saya tak menyangka akan mengantar jasad Pak Harto,” katanya.
Sabarto sempat pula diundang sebagai tamu dalam acara ngocol yang dibawakan Tukul: Bukan Empat Mata. Meskipun bukan orang terkenal atau selebritas, Sabarto mampu membawa kita kepada saat-saat akhir orang kuat Orde Baru itu. Betapa masyarakat masih memberikan penghormatan kepada Soeharto yang dianggap tiran oleh kelompok demokrasi. Yang jelas, feature ini sangat humanis. Sisi manusiawi Sabarto yang selarik menyimpan “kebanggaan” bahwa dialah sopir terakhir mantan Presiden Soeharto!
Ketiga, hindari kata sifat
Diksi “bagus” itu sifatnya subjektif. Tapi, andaipun subjektif, itu tetap kekhasan dan hak jurnalis yang mereportasenya. Cuma, karena kita ingin menggambarkan secara detail, sedapat mungkin dihindari kata sifat.
Menulis “rumah itu sangat luas” tidak memberikan gambaran yang pasti. Luasnya seberapa? Seperti lapangan sepak bolakah? Seluas Kebun Raya Bogorkah? Atau apa? Maka itu, kata sifat luas itu mesti ada ukurannya.
Contoh dalam kalimat: Halaman rumah itu luasnya sekira seperempat lapangan sepak bola di Gelora Bung Karno. Rumputnya hijau. Dipotongnya rapi, cuma seujung kuku dari tanah. Main bola di atasnya hakulyakin betah.
Menyoal wajah seseorang juga bisa dengan menghindari kata sifat. Tak apa ditulis ganteng atau cantik, tapi ada penggambarannya. Ini tulisan Alfian Hamzah dalam Kejarlah Daku Engkau Kusekolahkan yang pernah dimuat majalah Pantau. Cerita ini soal keseharian tentara kita sewaktu konflik dengan GAM. Berikut petikannya:
Saya belum pernah menjumpai tentara yang sewaspada Prajurit Kepala Muhammad Khusnur Rochmi. Pada jarak 10 meter, dari potongan rambutnya saja, orang sudah bisa menebak kalau dia tentara. Ada banyak bekas luka di wajahnya yang hitam. Perawakannya sedang, bahkan untuk ukuran tentara. Tingginya sekitar 170 sentimeter. Wajahnya tirus dengan rahang menonjol. “Ini,” katanya, menunjuk rahang kananya, “sering bengkak kena popor pas latihan membidik sasaran.”
Ke mana saja Rokhim pergi, matanya selalu awas. Apa saja yang tampak jadi perhatiannya. Kalau ada orang yang gerak-geriknya aneh, dia tak segan-segan memelototinya sampai yakin kalau orang itu tak akan membahayakan keselamatannya.
Keempat, ketat dalam reportase
Untuk menghasilkan tulisan feature yang enak dibaca, kita mesti ketat saat mereportase. Atau, pandai mengeksplorasi pertanyaan dalam wawancara. Perhatikan setiap detail yang terjadi saat kita meliput. Meski orang itu tak menjawab, dari sorot matanya, perubahan pada mimik, gerak tangan, topangan dagu, bahkan cara dia merokok; sudah bisa menggambarkan. Maka itu, perhatikan semua, dan catat secara detail. Seorang Linda Christanty, jurnalis yang juga sastrawan dan kini Pemimpin Redaksi Kantor Berita Aceh Feature, bahkan selalu membawa tape rekam. Ia meyakini ingatan manusia dan kecepatan tangan dalam mencatat terbatas. Maka itu, merekam ujaran narasumber dengan perekam, menjadi penting. Selain itu, jeli dalam melihat, memperhatikan semua kejadian saat melakukan reportase.
Dari Berbagai Sumber
0 komentar :
Posting Komentar